Proses internalisasi nilai-nilai
Pancasila pada anak-anak saat ini mengalami inkonsistensi. Pasalnya,
nilai-nilai kebaikan Pancasila diajarkan dengan setengah hati dan tanpa
keteladanan. Penanaman nilai-nilai Pancasila masih dalam tataran kognisi
belum sepenuhnya mampu menyentuh level afeksi maupun psikomotorik,
tutur
Surono, Peneliti Pusat Studi Pancasila, di ruang kerjanya.
Satu kasus ditemukan yakni sebuah
lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) non-formal yang sedang
melakukan upaya internalisasi nilai-nilai religiusitas. Ketika salah
seorang guru PAUD memimpin doa, pada saat yang bersamaan, guru-guru yang
lain justru sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang merapikan
barang-barang, menyiapkan makanan, bahkan ngobrol dengan guru yang
lain. Akibatnya, para murid PAUD mulutnya membaca doa, sementara itu
matanya menatap hampa pada guru-guru yang sedang sibuk dengan aktivitas
mereka.
Hal seperti ini jelas sekali menunjukkan
sebuah kontradiksi. Pada satu sisi, para guru ingin menanamkan
nilai-nilai religiusitas, akan tetapi di sisi lain tidak ada
“keteladanan” yang bisa memperkuat dan meyakinkan pada anak-anak bahwa
berdoa itu adalah upaya meminta kepada Tuhan pencipta alam, sehingga
harus dilakukan dengan khusyu’. Anak-anak diajarkan agar bersikap baik
dan khusyu’ dalam berdoa, tetapi para guru dan pegawai justru
menunjukkkan sikap sebaliknya.
Dalam penelitian yang berjudul
“Internalisasi Nilai-nilai Pancasila pada Anak melalui Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD): Studi Kasus PAUD Non Formal di Yogyakarta” Surono,
Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM mengemukakan bahwa sebagian besar
pola pendidikan PAUD masih terfokus pada usaha untuk menumbuhkan
kecerdasan kognitif. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, salah
satunya adalah faktor kualitas sumber daya manusia (pengajar). Dalam
kegiatan belajar mengajar, para pengajar cenderung bertindak sesuka
hati, asal memenuhi kewajiban saja. Akan tetapi hal ini tidak dapat
disalahkan, karena mereka hanya diberi honor Rp 5000,00 sekali datang.
“Yang menjadi persoalan berikutnya adalah untuk urusan pembangunan
karakter bangsa kok cuma seharga 5000 perak”, ujar Surono.
Berdasarkan kenyataan tersebut, peneliti menyarankan agar masyarakat dan pemerintah lebih serius ngurip-uripi PAUD
non-formal, karena lembaga ini memiliki posisi yang sangat strategis
dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia. Terlebih lagi, di lembaga
inilah para siswa/anak dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan
budaya berkumpul. Posisi PAUD dalam upaya internalisasi nilai-nilai
Pancasila sangat strategis. Apalagi dengan melihat data dari Direktorat
Pendidikan Anak Usia Dini tahun 2009, selama tujuh tahun terakhir ini
perkembangan Angka Partisipasi Kasar PAUD di Indonesia mencapai 15,3
juta atau 53,6%. LENGKAP KLIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar