Universitas Negeri Semarang

SELAMAT DATANG PARA PEMBACA. Bekerjalah dengan hatimu melalui KONTRIBUSI DAN PENGABDIAN TERBAIK serta gunakan segala potensi yang anda miliki. Pada saat itu anda tidak akan merasa BEKERJA. karena setiap TINDAKAN adalah pilihan YANG MENDATANGKAN KEBAHAGIAAN.

Sabtu, 18 Februari 2012

INKONSISTENSI INTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA PADA ANAK

Proses internalisasi nilai-nilai Pancasila pada anak-anak saat ini mengalami inkonsistensi. Pasalnya, nilai-nilai kebaikan Pancasila diajarkan dengan setengah hati dan tanpa keteladanan. Penanaman nilai-nilai Pancasila masih dalam tataran kognisi belum sepenuhnya mampu menyentuh level afeksi maupun psikomotorik, tutur
Surono, Peneliti Pusat Studi Pancasila, di ruang kerjanya.
Satu kasus ditemukan yakni sebuah lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) non-formal yang sedang melakukan upaya internalisasi nilai-nilai religiusitas. Ketika salah seorang guru PAUD memimpin doa, pada saat yang bersamaan, guru-guru yang lain justru sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang merapikan barang-barang, menyiapkan makanan, bahkan ngobrol dengan guru yang lain. Akibatnya, para murid PAUD mulutnya membaca doa, sementara itu matanya menatap hampa pada guru-guru yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka.
Hal seperti ini jelas sekali menunjukkan sebuah kontradiksi. Pada satu sisi, para guru ingin menanamkan nilai-nilai religiusitas, akan tetapi di sisi lain tidak ada “keteladanan” yang bisa memperkuat dan meyakinkan pada anak-anak bahwa berdoa itu adalah upaya meminta kepada Tuhan pencipta alam, sehingga harus dilakukan dengan khusyu’. Anak-anak diajarkan agar bersikap baik dan khusyu’ dalam berdoa, tetapi para guru dan pegawai justru menunjukkkan sikap sebaliknya.
Dalam penelitian yang berjudul “Internalisasi Nilai-nilai Pancasila pada Anak melalui Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD): Studi Kasus PAUD Non Formal di Yogyakarta” Surono, Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM mengemukakan bahwa sebagian besar pola pendidikan PAUD masih terfokus pada usaha untuk menumbuhkan kecerdasan kognitif. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor kualitas sumber daya manusia (pengajar). Dalam kegiatan belajar mengajar, para pengajar cenderung bertindak sesuka hati, asal memenuhi kewajiban saja. Akan tetapi hal ini tidak dapat disalahkan, karena mereka hanya diberi honor Rp 5000,00 sekali datang. “Yang menjadi persoalan berikutnya adalah untuk urusan pembangunan karakter bangsa kok cuma seharga 5000 perak”, ujar Surono.
Berdasarkan kenyataan tersebut, peneliti menyarankan agar masyarakat dan pemerintah lebih serius ngurip-uripi PAUD non-formal, karena lembaga ini memiliki posisi yang sangat strategis dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia. Terlebih lagi, di lembaga inilah para siswa/anak dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya berkumpul. Posisi PAUD dalam upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila sangat strategis. Apalagi dengan melihat data dari Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini tahun 2009, selama tujuh tahun terakhir ini perkembangan Angka Partisipasi Kasar PAUD di Indonesia mencapai 15,3 juta atau 53,6%. LENGKAP KLIK DISINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar